fin.co.id - Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, resmi mengeluarkan aturan baru terkait pembatasan penggunaan sound horeg atau sistem tata suara berdaya ekstrem. Kebijakan ini tertuang dalam tiga Surat Edaran (SE) yang diterbitkan pada 6 Agustus 2025, yakni SE Bersama Nomor 300.1/6902/209.5/2025, Nomor SE/1/VIII/2025, dan Nomor SE/10/VIII/2025. Aturan tersebut membatasi tingkat kebisingan, melarang penggunaan di lokasi tertentu, serta mengatur prosedur izin demi menjaga ketertiban umum.
“Dengan aturan ini, kami berharap suasana di Jatim tetap kondusif dan tertib,” ujar Khofifah dalam keterangan tertulis, Minggu, 10 Agustus 2025.
Latar Belakang Kebijakan
Fenomena penggunaan sound horeg semakin marak dalam acara hiburan rakyat maupun hajatan. Sistem tata suara dengan kekuatan berlebihan ini dinilai kerap menimbulkan gangguan ketenangan warga, bahkan berpotensi membahayakan kesehatan pendengaran. Pemerintah Provinsi Jawa Timur pun menganggap perlu adanya regulasi tegas untuk mengendalikan penggunaannya.
Dukungan dari Pengamat Seni
Sejumlah pihak menyambut baik kebijakan ini. Pengamat seni dari Universitas Airlangga, Dr. Budi Santoso, menilai aturan tersebut sebagai langkah positif untuk melindungi kesehatan dan ketertiban lingkungan.
“Penggunaan sistem suara yang berlebihan sering mengabaikan aspek kesehatan pendengaran dan ketertiban. Aturan ini bisa menjadi langkah awal yang baik untuk mengedukasi masyarakat tentang penggunaan tata suara yang bertanggung jawab,” jelas Dr. Budi saat dihubungi, hari ini.
Kritik dari Pengamat Musik Etnik
Meski begitu, kebijakan ini juga menuai kritik. Pengamat musik etnik, Rina Hidayati, menilai pembatasan sound horeg berpotensi mengurangi esensi dan kemeriahan seni tradisional, seperti bantengan dan jaranan, yang identik dengan suara keras.
Baca Juga
“Pembatasan ini bisa mengubah karakteristik acara. Sebaiknya ada pendekatan edukatif tentang batas desibel yang aman daripada larangan total,” ujar Rina.
Sikap Pemerintah: Bukan untuk Mematikan Seni
Pemerintah Provinsi Jawa Timur menegaskan bahwa kebijakan ini tidak dimaksudkan untuk membatasi kreativitas atau mematikan hiburan rakyat. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jatim, Dr. H. Sinarto, S.Kar., M.M., menjelaskan bahwa peraturan ini berfokus pada penyelarasan antara seni, hiburan, dan ketertiban umum.
“Kami ingin menciptakan lingkungan yang harmonis di mana setiap kegiatan dapat berjalan tanpa saling mengganggu. Fokusnya pada pengawasan desibel suara dan standar teknis peralatan,” ungkap Sinarto.
Harapan untuk Dialog Lanjutan
Sejumlah pegiat seni dan penyelenggara acara berharap kebijakan ini dijalankan secara fleksibel, menyesuaikan konteks acara dan lokasi. Mereka juga mendorong adanya diskusi lanjutan antara pemerintah, seniman, dan masyarakat demi menemukan titik tengah yang mengakomodasi kepentingan semua pihak.
Dengan regulasi yang tepat dan komunikasi yang baik, diharapkan seni dan budaya tradisional tetap berkembang, sambil menjaga kenyamanan dan kesehatan masyarakat. (Hasyim Ashari)