Film n Musik . 23/05/2025, 09:39 WIB
Penulis : Aries Setianto | Editor : Aries Setianto
fin.co.id - Band KotaK bukan sekadar nama biasa. Di baliknya, ada filosofi, konsep matang, dan perjalanan panjang yang dirintis oleh para pendiri awalnya, termasuk Julia Angelia Lepar atau yang akrab disapa Pare. Namun, belakangan, nama yang sarat makna itu justru menjadi sumber konflik setelah didaftarkan ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (HAKI) tanpa melibatkan Pare dan pendiri lainnya.
Pare menegaskan, nama band KotaK bukanlah pilihan sembarangan. Ia bersama Posan, Icez (Prinzes Amanda), dan Cella merancangnya dengan penuh pertimbangan. "Ada konsep, gambaran, logo, dan filosofi di baliknya," ujarnya. Nama itu melambangkan empat sisi berbeda, direpresentasikan melalui formasi dua perempuan dan dua laki-laki dalam grup.
"Filosofi itu penting untuk masa depan. Saya yang mengajukan nama itu, dan semua setuju, bahkan label pun menyetujuinya," tegas Pare. Namun, ironisnya, justru anggota yang bergabung belakangan, Tantri dan Chua, yang mendaftarkan nama tersebut ke HAKI pada 2023—tanpa pemberitahuan kepada pendiri awal.
Pare mengaku baru mengetahui pendaftaran HAKI tersebut di tahun 2023. "Wajar kalau saya sakit hati. Kami yang merintis dari nol, tapi nama itu didaftarkan oleh orang yang datang belakangan," ungkapnya dengan nada kecewa.
Baginya, komunikasi adalah kunci. "Kenapa tidak ada diskusi atau izin sebelumnya? Setidaknya bilang, ‘Kami mau daftarkan nama ini.’ Itu lebih fair," tambah Pare. Ketidakharmonisan ini akhirnya memicu langkah hukum.
Pada November 2024, Pare bersama Posan dan Icez menggugat Cella ke Pengadilan Negeri Sleman (Perkara No. 265/Pdt.G/2024/PN Smn). Sayangnya, gugatan itu ditolak. Mereka pun naik banding ke Pengadilan Tinggi Yogyakarta, tetapi hasilnya tetap sama.
Kuasa hukum Posan, Minola Sebayang, menyatakan bahwa pihaknya akan melanjutkan perjuangan ke Mahkamah Agung melalui kasasi. "Batas waktu pengajuan kasasi hingga 28 Mei. Setelah itu, kami akan umumkan memori kasasi," jelas Minola.
Konflik band KotaK ini menjadi cermin betapa vitalnya kejelasan kepemilikan hak intelektual, terutama dalam grup musik dengan sejarah panjang. Tanpa komunikasi dan kesepakatan hukum yang jelas, perselisihan seperti ini bisa merusak hubungan bahkan menghancurkan warisan musik yang sudah dibangun bertahun-tahun.
Bagi Pare dan kawan-kawan, perjuangan belum berakhir. Sementara bagi industri musik, kasus ini menjadi pengingat: kolaborasi harus dibangun dengan transparansi—bukan hanya di panggung, tapi juga di meja hukum.
PT.Portal Indonesia Media