Film n Musik . 10/08/2025, 20:51 WIB
Penulis : Sigit Nugroho | Editor : Sigit Nugroho
fin.co.id - Film animasi Merah Putih: One for All dijadwalkan tayang di bioskop mulai 14 Agustus 2025, namun justru lebih dulu menuai kontroversi. Sejak perilisan trailer-nya, warganet ramai mengkritik kualitas animasinya yang dinilai jauh dari standar, terlebih setelah muncul kabar bahwa produksi film ini menelan biaya hingga Rp6,7 miliar.
Diproduksi oleh Perfiki Kreasindo, Merah Putih: One for All mengisahkan petualangan delapan anak dari berbagai suku di Indonesia. Misi mereka adalah menyelamatkan bendera pusaka yang hilang menjelang Hari Kemerdekaan. Mengusung pesan persatuan dan nasionalisme, film ini sejatinya diharapkan menjadi tontonan keluarga yang menginspirasi di momen perayaan 17 Agustus.
Seperti dilansir dari berbagai unggahan netizen, mayoritas kritik tertuju pada eksekusi visual. Animasi film ini disebut kaku, grafisnya kurang memadai, dan terkesan seperti proyek tugas sekolah yang dibuat terburu-buru. Beberapa warganet bahkan membandingkannya dengan film animasi lokal lain, seperti Jumbo, yang baru-baru ini menuai pujian karena kualitas visualnya.
Tidak hanya soal visual, angka anggaran produksi sebesar Rp6,7 miliar ikut dipertanyakan. Banyak yang merasa hasil akhir tidak mencerminkan besaran biaya yang dikeluarkan.
Produser film, Toto Soegriwo, sempat menanggapi kritik tersebut lewat media sosial dengan nada sindiran. “Senyumin aja. Komentator lebih pandai dari pemain. Banyak yang mengambil manfaat juga kan? Postingan kalian jadi viral kan?” tulisnya. Sayangnya, pernyataan ini justru memicu kemarahan publik dan memperlebar perdebatan.
Di tengah derasnya kritik, sutradara ternama Hanung Bramantyo angkat bicara pada Minggu, 10 Agustus 2025. Lewat akun X pribadinya, Hanung membela para kreator film, namun menyentil pihak pemberi proyek. “Saya yakin ini bukan salah kreatornya. Tapi salah yang ngasih proyek,” tulisnya.
Hanung mengungkap fakta bahwa membuat film animasi berkualitas tinggi membutuhkan biaya minimal Rp30-40 miliar, di luar promosi, dengan proses produksi selama 4-5 tahun. Dengan anggaran Rp6,7 miliar, menurutnya, film hanya bisa mencapai tahap awal produksi atau previs. Ia mengibaratkan film yang dipaksakan tayang dengan anggaran minim seperti membangun rumah yang belum diplester dan lantainya masih cor kasar.
Pernyataan Hanung membuka diskusi lebih luas soal realitas industri film animasi di Indonesia. Banyak warganet yang awalnya menyalahkan kreator kini mulai menyoroti sistem pendanaan, manajemen produksi, dan kebijakan proyek yang dianggap tidak realistis. Beberapa menyebut, industri perlu transparansi anggaran dan perencanaan jangka panjang agar hasil yang ditampilkan sesuai ekspektasi publik.
Dengan jadwal rilis yang semakin dekat, film Merah Putih: One for All kini berada di bawah sorotan ketat. Publik menanti apakah pihak produser atau rumah produksi akan memberikan klarifikasi lebih lanjut terkait anggaran dan proses pengerjaan, atau bahkan melakukan langkah perbaikan sebelum penayangan.
Polemik ini menjadi pengingat bahwa di era digital, kualitas visual bukan hanya penunjang, melainkan faktor utama yang memengaruhi penerimaan penonton. Bagi industri animasi lokal, ini bisa menjadi momentum untuk introspeksi dan memperkuat standar produksi agar mampu bersaing di pasar global. (Hasyim Ashari)
PT.Portal Indonesia Media